Riuh ramai suasana
siang ini, di dalam kelas yang telah usai kegiatan belajar mengajar. Sesekali
teriakan-teriakan yang tak jelas terdengar dari teman-temanku yang aku rasa
mereka sedang bercanda. Dan mungkin
sebuah rutinitas, aku mulai mencari ponsel dan headphoneku di dalam tas dan mencari lagu yang akan aku dengarkan
siang ini. Dalam suasana yang seriuh ini, aku tak menghiraukan itu sama sekali
aku terpaku lagu yang aku putar dari ponselku, tentunya lagu-lagu beraliran
keras. “Hengki..! Kamu lagi ngapain? Sini deh!” teriak Sakti dari depan pintu
kelas. “Ah, ada apa sih?” gerutuku yang baru mendengarkan beberapa alunan lagu.
Aku bangkit dari tempat dudukku,aku menghampiri Sakti yang memanggil namaku
tanpa ku ketahui maksud dan tujuannya. “Ada apaan Sakti?” tanyaku dengan muka
yang sedikit marah. “Eh, sabar dulu bro,aku
cuma mau kasih tau ada yang lagi ribut-ribut tuh di kelas sebelah.” kata Sakti
dengan santainya. “Siapa? Siapa?” tanyaku penasaran. “Aku sih belum tahu juga
siapa, tapi katanya Adi sama Hida.” kata Sakti memberitahu. “Ah udah nggak usah
banyak ngomong ayo kita samperin.” kataku sambil ku tarik tangan Sakti yang
kurus. Aku dan Sakti berjalan di lorong sekolah dengan penuh rasa ingin tahu.
Sesampainya di kelas yang ku tuju, sudah ku dengar percek-cokan dari dalam
kelas itu,aku mulai mencari tahu ada apakah sebenarnya. “Eh ada apaan sih?” ku
tanya Ivan teman sekelas Hida yang berdiri menyaksikan Adi dan Hida beradu
mulut di belakang kelas. “Biasalah masalah wanita” kata Ivan dengan cara bicara
yang sudah tak heran lagi dengan peristiwa seperti ini. “Wanita gimana? Masalah
sebenarnya kayak gimana?” tanya ku terkesan berlebihan. “Jadi Adi itu suka sama
Ferta, lalu Adi nembak Ferta dan Hida
tiba-tiba dateng nyamperin Adi dan membentak-bentak Adi karena ternyata Hida
juga suka sama Ferta.” Kata Ivan menjelaskan panjang lebar, “Emang Ferta itu
yang mana?” tanya ku ingin tahu. Meski sudah selama setahun menjadi teman satu
angkatan di sekolah ini, aku belum kenal sama semua teman satu angkatanku. “Itu
loh yang nangis di depan meja guru.” tunjuk Ivan memberitahuku. “Kasihan sekali
dia.” kataku dalam hati. Dengan dibalut jilbab putih, dia meneteskan air mata
setetes demi setetes, aku tak tahu apakah yang ada dalam hatinya, namun
sepertinya dia kebingungan mau melakukan apa dengan keadaan yang seperti ini.
“Oh itu.” jawabku sok santai. Lalu aku dan Sakti beranjak pergi dari dalam
kelas itu, meski sebenarnya aku masih memikirkan Ferta tadi.
Malam
harinya, ku matikan lampu belajarku dan ku tatap jam dinding di kamarku dan
waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, lalu aku mengambil handphone di meja
belajarku lalu ku buka browser untuk
menge-cek media sosial milikku, di saat ku lihat daftar-daftar tweet di timeline aku lihat ada akun @Ferrtaa dengan tweet yang sedih, aku rasa dia sedang dilema dengan masalah yang
dia hadapi, lalu beberapa saat aku meletakkan handphoneku lagi dan bergegas
menuju tempat tidurku karena aku rasa sudah larut malam. Aku naik ke tempat
tidur dan memakai selimut yang terlipat rapi di atas bantalku. “Kasihan sekali
dia, masalah yang dia hadapi memang sangatlah pelik, dengan keadaan seperti itu
dia pasti selalu di posisi yang dibingungkan harus melakukan apa, dan air
matanya tadi membuatku merasa kasihan.” kataku dalam hati, pikiran ini selalu
terbayang sejak siang tadi ini bukan
tentang nasib percek-cokan Adi dan Hida namun wanita yang mereka perebutkan,
pasti sangat bingung jika aku berada di posisi seperti itu. Aku memikirkan
berbagai kemungkinan, pasti dia nggak mau menyakiti hati Adi, namun dia juga
nggak mau menyakiti hati Hida, atau dia memang benar-benar nggak mau sama Adi
atau pun Hida namun ia tak menyampaikannya. Mungkin kemungkinan-kemungkinan tadi
ada benarnya. “Ah sudahlah, kenapa aku pikirkan ini?” tanya ku pada diri
sendiri dan mulai diam dan mencoba melupakan.
Keesokan
harinya, aku tiba di sekolah dan berjalan dari parkiran di belakang sekolahku,
aku melewati kelas Ferta dan dari balik kaca aku lihat matanya sayu, sepertinya
sudah banyak air mata yang ia teteskan. Aku berjalan terus menuju kelasku dan
mencoba tidak memperdulikannya lagi. Pelajaran demi pelajaran telah berlalu,
dan pada jam pelajaran terakhir aku tiba-tiba teringat tentang Ferta lagi. Dan
aku mulai terjebak dalam pikiran kebingungan tentang masalah ini. “Hengki..!
Hengki...! Apa yang ibu sampaikan tadi?” tanya Bu Nia memecah lamunanku. “Eh,
eh, tentang perguruan tinggi bu.” jawabku
tanpa berpikir. Tiba-tiba satu kelas tertawa, mereka menertawaiku.
“Hengki.. tadi ibu bicara tentang pergaulan remaja, kamu jangan melamun!
Dengerin! Kamu itu.” saut Bu Nia heran, aku agak takut karena Bu Nia adalah
guru Bimbingan Konseling kelas 10. Dan akhirnya bel jam akhir pelajaran
berbunyi, “Hengki, nanti kamu temui ibu di kantor BK.” Suruh Bu Nia kepadaku.
“Iya bu.” kata ku mengangguk. Pasti ini tentang masalah melamunku tadi, “Ah,
sial.” gerutuku dalam hati. Lalu aku bergegas merapikan barang-barangku dan
mulai beranjak dari kelasku dan menuju ruang Bimbingan Konseling yang tidak
jauh dari kelasku. Langkah-langkahku penuh dengan kecemasan, “Tok, tok, tok..
permisi bu.” kataku sesaat setelah tiba di depan pintu ruang Bimbingan
Konseling. “Iya Heng silahkan masuk!” suruh Bu Nia, lalu aku duduk di kursi
yang tepat berada di depan meja Bu Nia. “Kamu tadi kenapa? Kok saat pelajaran
ibu melamun? Ada masalah apa?” tanya Bu Nia bertubi-tubi. “Emm..” kataku. Aku
ragu-ragu apakah masalah ini harus aku ceritakan, karena sebelumnya masalah ini
belum diketahui oleh guru-guru. “Emm, emm apa? Ada masalah apa? Coba cerita
sama ibu.” rayu Bu Nia kepadaku untuk menceritakan masalah yang sebenarnya
sedang aku pikirkan. “Emm.. jadi begini bu, kemarin siang saya diberitahu
Sakti, teman sekelas saya. Dia mengajak saya untuk mencari tahu ada apa
sebenarnya kok ada ribut-ribut, lalu saya ikut dan ternyata ada Adi sama Hida
saling mencaci maki di belakang kelas 10 F bu, tapi saya nggak tahu bu ada
masalah apa sebenarnya.” jawabku menceritakan. “Oh, jadi begitu. Baiklah kalau
begitu, kamu ibu maafkan tapi besok-besok lagi kamu nggak boleh melamun saat
pelajaran lagi dan jika ada masalah silahkan cerita ke ibu semoga ibu bisa
kasih solusinya.” kata Bu Niken jelas. “Terima kasih ibu, saya pergi dulu ya
bu.” kata ku sambil mulai bangkit berdiri dari kursi yang berada di depan meja
Bu Nia. Aku lalu keluar dari ruang BK dan beranjak menuju kantin sekolah.
Setibanya di kantin, aku mengambil semangkuk soto. “Bu.. kopi es Moccacino
satu.” pintaku ke ibu penjaga kantin. Lalu aku membawa semangkuk sotoku ke meja
makan, ku tambahkan saus, kecap dan sambal, ku letakkan tasku di samping tempat
dudukku, lalu mulai ku santap sotoku. Satu, dua santapan lalu ibu kantin
menghampiriku dan memberikan kopi es Moccacinoku. Ku minum es yang sudah ku
pesan karena siang ini suasana sangat panas dan ini membuatku dahaga. “Eh, tahu
enggak sih. Kemarin itu Adi berantem sama Hida, kalian tahu nggak apa
masalahnya? Masalahnya itu mereka merebutin Ferta.” kata seseorang di
belakangku. Tak tahu apa penyababnya, tiba-tiba aku merasa marah tidak terima,
karena mereka menceritakan masalah ini, masalah yang telah membuat Ferta sedih.
Bergegas aku habiskan soto dan kopi es Moccacinoku dan pergi dari dalam kantin.
“Ah, kenapa mereka ngrumpi tentang
Ferta?” tanya ku tak terima.
Lalu aku pergi ke
kelasku dengan tergesa-gesa, aku berjalan di lorong sekolah dengan cepat dan
tiba-tiba. “Brukk.” aku menabrak Ferta yang muncul tiba-tiba dari balik pintu
kelasnya. Dan aku lihat selendang putihnya jatuh, pasti dia mau latihan tari,
dengan sigap aku ambil selendang putihnya itu dan ku berikan padanya. “Eh..
maaf-maaf aku nggak sengaja.” kata ku meminta maaf, “Iya nggak apa-apa, lain
kali hati-hati ya..” katanya lembut. Dan saat itu aku tatap wajahnya, semburat
senyum nampak dari wajahnya, dan ternyata dari dekat ,wajahnya nampak anggun
dan kesedihan yang ia rasakan tak nampak saat itu, karena ia mencoba untuk
tetap tersenyum. “Eh, iya-iya. Lain kali aku hati-hati deh.” jawabku salah
tingkah. Lalu dia pergi dengan selendang putihnya, dan itu nampak sangat
anggun. Pantas saja Adi sama Hida sampai bercek-cok seperti itu untuk dapetin
dia. Lalu aku juga beranjak dari tempat tabrakkanku dengan Ferta tadi, dan
terlupa dengan tujuan awalku sebenarnya.
Matahari masih terlihat
jingga di sebelah barat, aku dan teman-teman komunitasku telah berkumpul di
tempat yang sudah kami janjikan. “Heng.. kamu bawa cat warna apa?” tanya Hendri
temanku, “Eh, aku Cuma bawa cat hitam doang.”
jawabku malu karena sebelumnya aku janjikan untuk bawa banyak warna. “Katanya
mau bawa cat banyak?” tanya Hendri menagihku, “Sorry bro, aku lupa.” jawabku mencoba meminta pengertian. “Yaudah bro nggak apa-apa, yang penting kita
bisa berkarya, emang kamu nanti mau gambar apa bro di tembok ini?” tanya Hendri penasaran. “Pokoknya spesial lah.”
jawabku membuat penasaran. Lalu aku mulai mengambil kuas-kuas dari dalam tasku
dan mulai menggores tembok-tembok kota yang sudah disediakan untuk komunitas bomber kami, mulai ku lukis
bagian-bagian dari sketsa yang sudah aku buat, dan sekitar 2 jam kemudian,
karyaku sudah selesai. “Aku harap Ferta melihat karyaku ini.” harapku dalam
hati. Aku juga masih bingung apakah motivasiku menggambar wajahnya, tapi ini
yang ada di kepalaku ya aku tuangkan saja. “Gambarmu keren bro.” kata Hendri memuji, “Makasih bro.” kata ku berterima kasih. Dan semua anggota kami terlihat
sudah usai dengan karya-karya mereka mempercantik kota, lalu aku pun pergi dan
beranjak pulang.
Di atas tempat tidurku
aku berbaring sambil membuka media sosialku dan aku mulai merasa ingin tahu
tentang Ferta. Ku lihat foto-fotonya, wajahnya tak berubah dan ini nampak sangat alami. Lalu aku mulai
menatap langit-langit kamarku dan memikirkan Ferta. Dia anggun, sederhana dan
lembut namun tiba-tiba aku teringat tentang apa yang sedang ia hadapi saat ini,
aku mulai berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang ia
hadapi. Aku mulai membuat rencana dan menghasilkan banyak cara yang akan aku
tempuh untuk menyudahi masalah ini, dan ada satu cara yang kemungkinan-kemungkinannya
sudah aku perhitungkan, aku berharap dengan ini masalah Ferta cepat
terselesaikan dan ia dapat tersenyum lagi tanpa beban di benaknya.
Siang itu nampak
mendung, ruang kelas kini sudah nampak kosong, aku berjalan untuk melakukan apa
yang aku rencanakan dan kebetulan Adi, salah satu penyuka Ferta sedang duduk di
depan kelasnya bersama teman-temannya, “Di..?” teriakku memanggil dia, “Woy?
Ada apaan tumben?” jawab Adi kaget sedang ada apakah gerangan aku memanggilnya.
“Kamu tadi ditatangin Hida, dia nunggu kamu entar sore di jalan baru.” kataku
dengan muka memanas-manasi, “Kayaknya sih dia mau nantangin berantem.” kataku
meneruskan. “Wah cari gara-gara lagi dia, ok ok aku bakalan dateng.” jawab Adi
penuh amarah yang menggebu-gebu. Dengan apa yang aku lihat, aku sudah merasa
yakin bahwa rencanaku ini akan benar-benar berhasil. Lalu aku beranjak dari
tempat di mana Adi berada, aku mulai mencari ke sekeliling sekolah dimanakah
Hida berada. “Dho, kamu lihat Hida dimana?” tanyaku pada Ridho teman karib Hida.
“Dia tadi ke Pop Ice-an sebelah, emang ada apaan?” tanya Ridho memastikan.
“Nggak kok nggak ada apa-apa cuma mau ketemu aja, yaudah ya aku mau ketemu Hida
dulu.” kata ku sambil pergi meninggalkan Ridho tanpa menatap wajahnya lagi.
Tak butuh waktu lama, aku
sudah sampai di tempat dimana aku akan menemukan Hida. Aku mulai mencari Hida,
nampaknya semua meja di Pop Ice-an itu kosong, namun aku lihat ada sepasang
remaja yang datang dengan mesranya. Ku minum secangkir kopiku sambil mengawasi
sepasang remaja tadi. Dan nampaknya aku kenal siapakah mereka, “Itu Mawar sama
Hida, ngapain mereka berduaan?” kata ku penasaran. Beberapa saat kemudian, aku
memutuskan untuk melanjutkan rencanaku, dan aku menghampiri Hida. “Hai Hid!
Lagi ngapain nih?” tanya ku dengan senyum di bibirku. “Eh Hengki, emm nggak
ngapa-ngapain kok cuma main aja. Ada apaan tumben?” jawab Hida nampak bingung.
“Yah apapun yang kalian lakukan, aku sih terserah aku cuma mau nyapain pesen
dari Adi kamu di ajak ketemu di jalan baru nanti sore, nggak tau suruh
ngapain.” kata ku dengan mempertimbangkan agar rencanaku berhasil. “Sebenarnya
aku nggak mau cari gara-gara lagi sama dia, tapi ya aku bakalan dateng.” jawab
Hida percaya diri. “Ok, aku pergi dulu ya, lanjutin senang – senangnya.” kata
ku dengan nada bercanda. Aku beranjak dengan hati yang senang dan penasaran
akan ter jadi apa dengan Adi dan Hida, apakah rencanaku berhasil, semoga saja.
Langit sudah mulai
gelap dan aku yakin mereka sudah datang di jalan baru, 2 lampu merah lagi maka
aku akan sampai di jalan baru. Nampak dari kejauhan 2 motor dan 2 orang yang
saling berhadapan, aku berhenti dan hanya mengawasi dari jauh. Nampak tak ada
hal yang berarti terjadi, hal yang aku harapkan, hal yang aku inginkan tak
terjadi sama sekali. “Sial, rencanaku gagal.” gerutuku dalam hati. Aku masih
tetap bersabar menanti namun hingga kedua orang itu pergi, tak ada sesuatu yang
terjadi. “Ini benar-benar gagal. Lalu aku harus melakukan apa lagi?” tanya ku
frustasi. Aku pergi dengan kecewa, karena usahaku tak menghasilkan apa-apa.
Sesampainya di rumah,
aku membuka ponselku dan ku lihat ada sebuah pesan yang masuk “Hengki, aku tahu
kamu pasti cuma bohongin aku tentang
Adi, tapi ya sudahlah aku nggak akan berurusan lagi tentang ini semua, aku
sudah lupakkan Ferta. Dan tentang kemauanmu untuk membuat konflik antara aku
dan Adi pun sudah aku acuhkan aku nggak peduli.” ku baca pesan itu, pesan itu
dari Hida nampaknya mereka tahu tentang apa yang aku rencanakan dan aku agak
was-was. Maksud hati ingin menghentikan masalah Ferta, malah aku membuat
masalah, penyesalanlah yang kini hadir.
Keesokkan harinya, saat
jam istirahat pertama aku menuju ke kantin sekolah dengan tujuan awal untuk
mengisi perut yang kelaparan. Namun aku lihat ada Ferta yang sedang duduk di
pojok kantin, aku mengampirinya dengan maksud untuk menyapanya. “Hai?” sapa ku
penuh harap. “Hai.” jawabnya lembut. “Boleh duduk disini?” kataku sambil
menunjuk kursi di sampingnya. “Iya silahkan.” katanya mempersilahkan.
“Ngomong-ngomong lagi ngapain?” tanyaku asal. “Menurutmu?” jawabnya
menganggapku aneh, “Eh iya, pasti mau makan ya?” kata ku merasa bodoh. Beberapa
menit aku terdiam kebingungan mau berkata apa. Di samping wanita yang slalu aku
pikirkan. “Emm, nanti sore ada acara nggak?” tanyaku. “Ada, tapi Cuma sebentar,
memang ada apa?” tanyanya heran. “Acara apa?” tanyaku lagi. “Latihan tari, tapi
paling setengah jam.” jawabnya lembut. “Emm, mau aku anterin?” tanyaku
menawarkan dengan hati yang berharap dan jatung yang berdegup. “Nggak usah,
jadi ngrepotin nanti.” Jawabnya dengan senyum manisnya, “Nggak kok, nggak
apa-apa.” kataku meyakinkan Ferta . “Baiklah, terima kasih ya.” jawabnya nampak sangat berterima kasih. Aku tahu
dengan apa yang aku tawarkan, karena dia jarang sekali bawa kendaraan dan dia
nampak kerepotan saat ada perlu. Hatiku kini senang bisa tahu lebih tentang
wanita yang selama ini ada di pikiranku, aku harap nanti sore jadi indah.
“Yes, akhirnya sore
juga, akhirnya..” kata ku sumringah. Aku mulai beranjak dari tempat duduk di
kelasku dan mengemasi barang-barangku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 3
sore. “Pinjam helm mu dulu Ti” kataku
berlari sambil membawa helm Sakti tanpa seijinnya. Aku berjalan menuju kelas
Ferta dan berharap melihat wajahnya dengan penuh senyum yang sumringah pula.
“Ayo berangkat.” ajakku bersemangat, “ayo.” jawabnya. Kami berjalan bersama
melewati lorong-lorong sekolah, sesekali ku lihat wajahnya dan senyuman yang
slalu nampak di wajahnya. Hingga tiba di tempat parkir senyum itu tak hilang,
aku pun mulai menghidupkkan mesin motorku, “Sudah siap?” tanyaku sekali lagi.
Anggukan yang mewakilkan maksud hatinya. Di sepanjang perjalanan, hatikku
kegirangan. “Dengan siapakah aku sekarang? Bidadarikah? Putrikah?” tanya ku
dalam hati, mungkin senyum yang dapat mewakilkan kegembiraanku saat ini.
Belokkan demi belokkan aku dan Ferta lewati bersama dan akhirnya kami tiba di
Sanggar tari tempat dimana Ferta berlatih. “Terima kasih ya.” kata nya kepadaku
dengan senyum khasnya. “Iya sama-sama.” kata ku membalas. Dia pun beranjak ke
Sanggar tempatnya berlatih, dan Sanggarnya yang klasik dan indah memperlihatkan
bagaimana dia dilatih, pasti dengan keunikkan dan keindahan pula, nampak dari
tempatku saat ini ia bersiap untuk berlatih dengan selendang putihnya selendang
yang aku jatuhkkan saat itu, saat aku bertabrakkan dengannya. Dia kini mulai
berlatih, melenggok, tangannya pun kini mulai bergerak, benar-benar gerakkan
yang sangat dinamis, indah sekali. Tak terasa setengah jam sudah terlewatkan
aku tak sadar sama sekali, aku terpaku pada gerakkan-gerakkan tubuhnya. “Hai,
kamu masih nungguin?” tanyanya kaget. “Eh, iya aku masih nungguin kamu, tadi
lihat kamu berlatih, gerakkanmu indah banget.” kata ku menggambarkan apa yang
aku lihat tadi, “Jadi malu.” jawabnya dengan wajahnya yang memerah karena malu.
“Ferta, aku ada sesuatu buat kamu.” kata ku pada membuatnya penasaran, “Ah
apaan?” tanya nya terlihat ingin tahu, “Yaudah ayo naik, nih helmnya.” kata ku
sambil memberikan helm padanya. Aku mulai menghidupkan mesin motorku dan
memacunya menuju tempat yang aku inginkan, aku harap Ferta senang dengan
kejutanku yang satu ini. Tak butuh watu lama akhirnya, kami tiba di tempat
dimana penuh dengan karya-karya seni lukis tembok kota. “Tempat apa ini?” tanya
nya kebingungan. “Tenang engga apa-apa kok, ini tempat dimana para seniman
tembok jalanan berkarya, dan aku mau nunjukkin sesuatu buat kamu.” kata ku
memberi tahu. Aku membimbingnya menuju tempat dimana aku melukiskan wajahnya
yang cantik nan anggun, yang dulu kubuat khusus spesial untuknya dan kuharapkan
Ferta tau, dan kini akhirnya ia tahu juga dengan karyaku yang satu ini, “Ini,
buat kamu. Karyaku lho.” kata ku menunjukkan lukisan wajahnya, “Wah, bagus
sekali. Indah.” jawabnya tertakjub-takjub, kulihat matanya berkaca-kaca sepertinya
ia ingin mengeluarkan air mata tak tahu mengapa, “Kamu kenapa? Nggak bagus ya?
Atau gimana?” tanya ku panik melihatnya meneteskan air mata. “Enggak kok, aku
hanya terharu karena selama ini tak ada seorang pun yang melakukan hal
sespesial ini kepadaku, terima kasih.” jawab nya sambil mengusap air mata dan
mulai menampakkan senyuman di wajahnya. “Emm, Fert. Aku mau bicara sesuatu,
selama ini aku lihat banyak sekali laki-laki yang menyukaimu hingga ada suatu
kejadian yang sebenarnya tak kamu harapkan terjadi, dan aku tahu semua laki-laki
yang datang ke kamu itu tak ada yang kamu inginkan hanya saja kamu nggak mau
menyakiti mereka kan? Dan pada saat itu aku mulai tahu bagaimana perasaanmu,
bingung, sedih itulah suasana hati yang terlintas di pikiranku, benar begitu
kan? Aku pun ingin sekali membebaskanmu dari itu semua yah dengan caraku yaitu
dengan melindungimu tentunya. Aku mau ngomong ini ke kamu, maukah kamu menjadi
teman hidupku, karena ku yakin namamulah yang ada di buku takdirku.” tanya ku
padanya penuh harap dan semoga ini tidak berakhir mengecewa. Tiba-tiba Ferta
lari meninggalkanku dan tak tahu kemanakah ia akan pergi, “Kamu mau kemana?”
tanya ku sambil mulai untuk mengejarnya,”Ferta.., Ferta.., kamu mau kemana?”
tanya ku, namun disaat ku mengejarnya ia sudah pergi dengan angkot yang ia
hentikkan, nampak dari sini ia menangis tak tahu mengapa, apakah yang salah
tentang semua ini? Aku pun berjalan menuju tempat dimana wajahnya ku lukiskan
indah, aku duduk berpikir sejenak apakah yang salah dari diriku, apakah dia
trauma tentang kata-kata cinta, atau ia tak mengharapkan semua ini. Namun aku
yakin dia sebenarnya ingin, namun mungki ia belum siap dengan semua ini. Aku
berdoa semoga ia tetap baik-baik saja dan segera melupakan hal-hal yang
membuatnya takut.
Pagi hari pun tiba, aku
berjalan menuju kelasku yang tak henti-hentinya ku singgahi. Dan seperti biasa
aku lewati kelasnya, kelas Ferta. Namun sepertinya dia belum ada, karena tempat
duduknya masih kosong, dalam hatiku berdoa semoga dia baik-baik saja dan tidak
terjadi sesuatu hal yang menimpa bidadariku ini, aku meneruskan jalanku dan
terus berdoa.
Tinggal selorong lagi
aku sampai di kelasku namun ku lihat di ujung lorong ada segerombolan lelaki
yang membawa balok, tak tahu mereka siapa dan mau apa. Aku terus saja berjalan
tanpa menghiraukan apa yang di lakukan oleh lelaki-lelaki itu. Aku semakin maju
dan semakin maju, begitu pula mereka semakin maju dan semakin maju juga, aku
mulai panik apa yang akan terjadi, aku agar merunduk agar tak melihat mereka
namun tiba-tiba ku lihat ternyata itu Adi dan sekawannya, sontak aku berlari
dan ternyata mereka ikut berlari dan mengejarku aku terus berlari dan berharap
dapat meloloskan diri, namun sial memang memihakku aku tergelincir saat akan
berbelok menghindari mereka tentunya aku terjatuh, dan tanpa berpikir lama lagi
mereka menangkapku dan mulai memukuliku, hantaman demi hantaman kurasakan di
sekujur tubuhku hingga tak tahu bagaimana keadaanku hingga datang satu pukulan
yang mendarat tepat dibagian belakang kepalaku lagsung saja aku tak sadarkan
diri, dan tak merasakan lagi apa yang sedang terjadi, aku merasa gelap tak bisa
melihat apapun juga nampak bayang-bayang Ferta tawanya, senyumnya, hingga
tangsinya bayangan itu berputar-putar di kegelapanku hingga ku dengar suara
memanggil namaku tak tahu dari mana itu, kucari sumber suara itu di kegelapan.
Hingga datang sebuah cahaya dan aku mendekatinya.
“Hengki.., Hengki..,
bangun! Aku disini, bangunlah.” kata Ferta yang nampaknya ia menangis sesaat
setelah ku tersadar, suaranya membangunkanku. Aku mulai membuka mata dan
terlihat lampu bersinar nampak sangat terang ku lihat korden yang berwarna
putih polos dan bau yang khas alat-alat medis, nampaknya aku kini sedang berada
di rumah sakit. “Hai Ferta.” kata ku dengan berat. “Syukurlah nak kamu sudah sadar.”
kata ibu ku khawatir. “Ia nak, untunglah.” kata ayah ku menyambung. “Hengki
akhirnya kamu sadar juga.” kata Ferta sambil memelukku dan ia meneteskan air
mata, air mata kesedihan dan kebahagiaan tentunya. Ia sangat bahagia nampaknya
hingga tak menghiraukan ada ayah dan ibu ku. Namun tak apalah, memang ini yang
aku harapkan, aku bisa melihatnya dalam keadaan yang baik-baik saja dan
sebaliknya dia juga mengaharapkan aku baik-baik saja meskipun yah seperti ini
keadaanku kini. Untung saja Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk bisa
melihat Ferta lagi. “Hengki.. kamu jangan pergi-pergi lagi ya, aku nggak mau
kamu tinggal pergi.” katanya membuatku sangat kegirangan. “Iya Ferta, aku nggak
akan ninggalin kamu kok.” kata ku menenangkannya dari kesedihannya. “Kamu
janjikan mau jagain aku, lindungin aku.” kata nya dengan air mata yang masih
terus menetes. “Iya aku janji.” kata ku dengan lemas. Dan moment itu yang
sangat menyedihkan sekaligus membahagiakan bagiku, dapat berkumpul dengan
keluargaku dan tentu dengan Ferta meski dengan keadaanku yang seperti ini
terkapar tak berdaya.
5 hari kemudian,
luka-lukaku sudah sembuh meskin belum sembuh secara total dan untung saja luka
di kepalaku itu bukanlah luka yang begitu parah hanya melukai tempurung
kepalaku saja dan lebam-lebam pukulan sudah tak kurasa kan lagi sakitnya meski
warna biru di sekujur tubuhku masih terlihat sangatlah jelas. Namun aku sudah
mampu bersekolah meski tanganku masih terluka dan tak di perbolehkan memakai
motor terlebih dahulu, tiba-tiba pagi itu. “Tin, tin.. Hengki.. Hengki.” teriak
seseorang dari luar rumah ku. Siapakah yang datang pagi-pagi seperti ini? Aku
pun berjalan keluar dan melihat Ferta memakai motor. “Hengki.. ayo sekolah
yuk.” ajak Ferta dengan senyumnya yang sumringah. “Emm.. tapi.” kata ku
kebingungan, “Ahh. Udah ayo deh cepetan naik keburu telat nih.” kata Ferta
membujuk, “Iyadeh ayo” kata ku menerima tawaran Ferta. Aku pun naik dan
kebingungan, aku diboncengin wanita selembut dia, seanggun dia. Yah aku jadi
merasa sangat lemah, namun aku merasa senang karena bisa bersama Ferta lagi.
Setibanya di dekat gerbang sekolah, teman-teman sesekolahku melihat aku dan
Ferta, mereka tersenyum kepada kami, aku pun merasa sedikit malu. “Terima kasih
ya. Kamu udah jemput aku, terus bocengin aku lagi.” kata ku berterima kasih.
“Iya nggak apa-apa, tapi kamu jangan tersinggung ya aku boncengin.” kata nya
dengan nada meledek, “Ehh, enggak-enggak.” jawab ku agak kagok, “Yaudah ayo ke
kelas.” ajak Ferta, “Ayo.” jawab ku. Dan ini sebuah kebahagiaan yang luar biasa
wanita yang dulu datang dengan kesedihan kini hadir dengan wajah yang nampak
sangat sumringah, aku harapkan ini terus terjadi kesedihan di wajah Ferta tak
nampak lagi. Aku pun melewati hari ini dengan sangat bahagia, karena bisa
bersama bidadariku wanita pendamping hidupku.
10 menit setelah bel
pulang sekolah berbunyi aku belum beranjak dari tempat dudukku dan masih
mendengarkan musik dari ponselku, hingga tiba-tiba Ferta datang menghampiriku.
“Hengki.. lagi ngapain?” tanya Ferta dengan senyum manisnya. “Lagi dengerin
musik aja. Kamu sendiri mau ngapain?” tanya ku padanya, “Kamu lagi kosong nggak
ada acara kan ayo ke tempat itu lagi yuk.” pinta nya padaku. “Oh ayo deh. Tapi
aku ya yang bawa motor” kata ku mencoba membujuknya untuk memberikan motornya
agar aku nggak diboncengin lagi, “Ah, nggak usah kamu lagi sakit biar aku aja.
Dah ayo berangkat.” ajaknya tak sabar. Aku pun ditariknya, dan kami mulai
menuju ke tempat indah yang jadi tujuan kami. Meski aku masih dibonceng Ferta
namun aku tetap senang dan berharap moment nanti adalah moment yang tepat untuk
yang kedua kalinya aku mengatakan tentang isi hatiku padanya.
Kami pun tiba di tempat
yang kami tuju, tempat yang penuh ekspresi kehidupan manusia kota, kami
berjalan bersama menuju tempat di mana wajah Ferta terlukiskan, “Ferta?” kata
ku memancing pembicaraan, “Iya Hengki ada apa?” jawab nya lembut, “Sebelumnya
aku minta maaf waktu itu aku sakitin kamu aku mengatakan hal yang seharusnya
tak ku katakan dan itu membuatmu jadi sedih lagi, namun kini aku ingin
mengatakan hal yang sama namun aku berharap ini tak membuatmu bersedih lagi,
membuatmu menangis lagi tapi membuatmu senang dan bahagia, aku mau berkata aku
cinta kamu.” kata ku dengan penuh gejolak di hati dan jantung yang berdetak
dengan sangat kencang dan berharap Ferta tak melakukan hal yang sama seperti
dahulu. “Aku juga cinta kamu.” jawab Ferta dengan senyum yang merekah. Aku
sangat bahagia, ku peluk tubuhnya, “Terima kasih.” kata ku dengan penuh
kebahagiaan. “Sebentar, aku ada sesuatu buat kamu.” kata ku menyuruhnya
menunggu, aku mencari bunga kuning kecil yang banyak tumbuh di sekita tempat
ini, aku petik satu bunga dan aku bawakan itu ke Ferta. “Tebak aku bawa apa?
Aku bawa ini buat kamu.” kata ku sambil memberikan bunga kuning kecil yang cantik,
“Sini, biar aku pakaikan.” ujar ku sambil menyelipkan bunga kecil kuning itu ke
sela telinga kirinya, “Kamu nampak cantik sekali Fert.” kata ku memujinya. “Terima
kasih Hengki, tapi bukan cuma kamu yang punya sesuatu buat aku, aku juga punya
sesuatu buat kamu.” kata nya sambil menahanku untuk menunggunya, beberapa saat
kemudian dia kembali dengan membawa selendang putih yang selalu ia pakai saat
latihan menari, “Ini buat apa Fert?” tanya ku terheran-heran. “Ini buat kamu,
karena ini selendang putih pembawa lukisan cinta kita.” kata Ferta melukiskan
apa yang ia berikan. “Emm, mumpung masih sore, ayo naik ke menara kita lihat
sunset bareng.” tanya ku menawarinya. “Ayo.” jawab Ferta senang. Kami pun mulai
beranjak dan menuju menara yang tak jauh dari tempat kami berdiri, kami pun
naik dan tak butuh waktu lama aku dan Ferta sudah sampai di puncak menara.
“Lihat mataharinya sudah hampir tenggelam.” ujar Ferta. “Iya indah banget ya.”
kataku, “Ferta, aku berharap cinta kita abadi ya, hingga kita tua dan hingga
kita sudah ada di tanah kubur.” kata ku penuh harap. “Iya, aku harap kita mampu
menjaga cinta ini dengan baik, meski hujan badai kan menghepaskan tubuh kita,
kita nggak boleh menyerah.” kata Ferta membalas. Aku dan Ferta pun sudah saling
berjanji untuk menjaga cinta kami ini, cinta yang penuh kisah liku, masalah
pelik dan kebahagiaan mewarnai kisah cinta kami. Kami berharap cinta putih kami
ini tetap terjaga di bawah naungan Tuhan.
-TAMAT-
0 komentar:
Posting Komentar