Kamis, 06 Juni 2013

Selendang Putih Pembawa Lukisan Cinta





Riuh ramai suasana siang ini, di dalam kelas yang telah usai kegiatan belajar mengajar. Sesekali teriakan-teriakan yang tak jelas terdengar dari teman-temanku yang aku rasa mereka sedang bercanda.  Dan mungkin sebuah rutinitas, aku mulai mencari ponsel dan headphoneku di dalam tas dan mencari lagu yang akan aku dengarkan siang ini. Dalam suasana yang seriuh ini, aku tak menghiraukan itu sama sekali aku terpaku lagu yang aku putar dari ponselku, tentunya lagu-lagu beraliran keras. “Hengki..! Kamu lagi ngapain? Sini deh!” teriak Sakti dari depan pintu kelas. “Ah, ada apa sih?” gerutuku yang baru mendengarkan beberapa alunan lagu. Aku bangkit dari tempat dudukku,aku menghampiri Sakti yang memanggil namaku tanpa ku ketahui maksud dan tujuannya. “Ada apaan Sakti?” tanyaku dengan muka yang sedikit marah. “Eh, sabar dulu bro,aku cuma mau kasih tau ada yang lagi ribut-ribut tuh di kelas sebelah.” kata Sakti dengan santainya. “Siapa? Siapa?” tanyaku penasaran. “Aku sih belum tahu juga siapa, tapi katanya Adi sama Hida.” kata Sakti memberitahu. “Ah udah nggak usah banyak ngomong ayo kita samperin.” kataku sambil ku tarik tangan Sakti yang kurus. Aku dan Sakti berjalan di lorong sekolah dengan penuh rasa ingin tahu. Sesampainya di kelas yang ku tuju, sudah ku dengar percek-cokan dari dalam kelas itu,aku mulai mencari tahu ada apakah sebenarnya. “Eh ada apaan sih?” ku tanya Ivan teman sekelas Hida yang berdiri menyaksikan Adi dan Hida beradu mulut di belakang kelas. “Biasalah masalah wanita” kata Ivan dengan cara bicara yang sudah tak heran lagi dengan peristiwa seperti ini. “Wanita gimana? Masalah sebenarnya kayak gimana?” tanya ku terkesan berlebihan. “Jadi Adi itu suka sama Ferta, lalu Adi nembak Ferta dan Hida tiba-tiba dateng nyamperin Adi dan membentak-bentak Adi karena ternyata Hida juga suka sama Ferta.” Kata Ivan menjelaskan panjang lebar, “Emang Ferta itu yang mana?” tanya ku ingin tahu. Meski sudah selama setahun menjadi teman satu angkatan di sekolah ini, aku belum kenal sama semua teman satu angkatanku. “Itu loh yang nangis di depan meja guru.” tunjuk Ivan memberitahuku. “Kasihan sekali dia.” kataku dalam hati. Dengan dibalut jilbab putih, dia meneteskan air mata setetes demi setetes, aku tak tahu apakah yang ada dalam hatinya, namun sepertinya dia kebingungan mau melakukan apa dengan keadaan yang seperti ini. “Oh itu.” jawabku sok santai. Lalu aku dan Sakti beranjak pergi dari dalam kelas itu, meski sebenarnya aku masih memikirkan Ferta tadi.
            Malam harinya, ku matikan lampu belajarku dan ku tatap jam dinding di kamarku dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, lalu aku mengambil handphone di meja belajarku lalu ku buka browser untuk menge-cek media sosial milikku, di saat ku lihat daftar-daftar tweet di timeline aku lihat ada akun @Ferrtaa dengan tweet yang sedih, aku rasa dia sedang dilema dengan masalah yang dia hadapi, lalu beberapa saat aku meletakkan handphoneku lagi dan bergegas menuju tempat tidurku karena aku rasa sudah larut malam. Aku naik ke tempat tidur dan memakai selimut yang terlipat rapi di atas bantalku. “Kasihan sekali dia, masalah yang dia hadapi memang sangatlah pelik, dengan keadaan seperti itu dia pasti selalu di posisi yang dibingungkan harus melakukan apa, dan air matanya tadi membuatku merasa kasihan.” kataku dalam hati, pikiran ini selalu terbayang sejak siang tadi  ini bukan tentang nasib percek-cokan Adi dan Hida namun wanita yang mereka perebutkan, pasti sangat bingung jika aku berada di posisi seperti itu. Aku memikirkan berbagai kemungkinan, pasti dia nggak mau menyakiti hati Adi, namun dia juga nggak mau menyakiti hati Hida, atau dia memang benar-benar nggak mau sama Adi atau pun Hida namun ia tak menyampaikannya. Mungkin kemungkinan-kemungkinan tadi ada benarnya. “Ah sudahlah, kenapa aku pikirkan ini?” tanya ku pada diri sendiri dan mulai diam dan mencoba melupakan.
            Keesokan harinya, aku tiba di sekolah dan berjalan dari parkiran di belakang sekolahku, aku melewati kelas Ferta dan dari balik kaca aku lihat matanya sayu, sepertinya sudah banyak air mata yang ia teteskan. Aku berjalan terus menuju kelasku dan mencoba tidak memperdulikannya lagi. Pelajaran demi pelajaran telah berlalu, dan pada jam pelajaran terakhir aku tiba-tiba teringat tentang Ferta lagi. Dan aku mulai terjebak dalam pikiran kebingungan tentang masalah ini. “Hengki..! Hengki...! Apa yang ibu sampaikan tadi?” tanya Bu Nia memecah lamunanku. “Eh, eh, tentang perguruan tinggi bu.” jawabku  tanpa berpikir. Tiba-tiba satu kelas tertawa, mereka menertawaiku. “Hengki.. tadi ibu bicara tentang pergaulan remaja, kamu jangan melamun! Dengerin! Kamu itu.” saut Bu Nia heran, aku agak takut karena Bu Nia adalah guru Bimbingan Konseling kelas 10. Dan akhirnya bel jam akhir pelajaran berbunyi, “Hengki, nanti kamu temui ibu di kantor BK.” Suruh Bu Nia kepadaku. “Iya bu.” kata ku mengangguk. Pasti ini tentang masalah melamunku tadi, “Ah, sial.” gerutuku dalam hati. Lalu aku bergegas merapikan barang-barangku dan mulai beranjak dari kelasku dan menuju ruang Bimbingan Konseling yang tidak jauh dari kelasku. Langkah-langkahku penuh dengan kecemasan, “Tok, tok, tok.. permisi bu.” kataku sesaat setelah tiba di depan pintu ruang Bimbingan Konseling. “Iya Heng silahkan masuk!” suruh Bu Nia, lalu aku duduk di kursi yang tepat berada di depan meja Bu Nia. “Kamu tadi kenapa? Kok saat pelajaran ibu melamun? Ada masalah apa?” tanya Bu Nia bertubi-tubi. “Emm..” kataku. Aku ragu-ragu apakah masalah ini harus aku ceritakan, karena sebelumnya masalah ini belum diketahui oleh guru-guru. “Emm, emm apa? Ada masalah apa? Coba cerita sama ibu.” rayu Bu Nia kepadaku untuk menceritakan masalah yang sebenarnya sedang aku pikirkan. “Emm.. jadi begini bu, kemarin siang saya diberitahu Sakti, teman sekelas saya. Dia mengajak saya untuk mencari tahu ada apa sebenarnya kok ada ribut-ribut, lalu saya ikut dan ternyata ada Adi sama Hida saling mencaci maki di belakang kelas 10 F bu, tapi saya nggak tahu bu ada masalah apa sebenarnya.” jawabku menceritakan. “Oh, jadi begitu. Baiklah kalau begitu, kamu ibu maafkan tapi besok-besok lagi kamu nggak boleh melamun saat pelajaran lagi dan jika ada masalah silahkan cerita ke ibu semoga ibu bisa kasih solusinya.” kata Bu Niken jelas. “Terima kasih ibu, saya pergi dulu ya bu.” kata ku sambil mulai bangkit berdiri dari kursi yang berada di depan meja Bu Nia. Aku lalu keluar dari ruang BK dan beranjak menuju kantin sekolah. Setibanya di kantin, aku mengambil semangkuk soto. “Bu.. kopi es Moccacino satu.” pintaku ke ibu penjaga kantin. Lalu aku membawa semangkuk sotoku ke meja makan, ku tambahkan saus, kecap dan sambal, ku letakkan tasku di samping tempat dudukku, lalu mulai ku santap sotoku. Satu, dua santapan lalu ibu kantin menghampiriku dan memberikan kopi es Moccacinoku. Ku minum es yang sudah ku pesan karena siang ini suasana sangat panas dan ini membuatku dahaga. “Eh, tahu enggak sih. Kemarin itu Adi berantem sama Hida, kalian tahu nggak apa masalahnya? Masalahnya itu mereka merebutin Ferta.” kata seseorang di belakangku. Tak tahu apa penyababnya, tiba-tiba aku merasa marah tidak terima, karena mereka menceritakan masalah ini, masalah yang telah membuat Ferta sedih. Bergegas aku habiskan soto dan kopi es Moccacinoku dan pergi dari dalam kantin. “Ah, kenapa mereka ngrumpi tentang Ferta?” tanya ku tak terima.
Lalu aku pergi ke kelasku dengan tergesa-gesa, aku berjalan di lorong sekolah dengan cepat dan tiba-tiba. “Brukk.” aku menabrak Ferta yang muncul tiba-tiba dari balik pintu kelasnya. Dan aku lihat selendang putihnya jatuh, pasti dia mau latihan tari, dengan sigap aku ambil selendang putihnya itu dan ku berikan padanya. “Eh.. maaf-maaf aku nggak sengaja.” kata ku meminta maaf, “Iya nggak apa-apa, lain kali hati-hati ya..” katanya lembut. Dan saat itu aku tatap wajahnya, semburat senyum nampak dari wajahnya, dan ternyata dari dekat ,wajahnya nampak anggun dan kesedihan yang ia rasakan tak nampak saat itu, karena ia mencoba untuk tetap tersenyum. “Eh, iya-iya. Lain kali aku hati-hati deh.” jawabku salah tingkah. Lalu dia pergi dengan selendang putihnya, dan itu nampak sangat anggun. Pantas saja Adi sama Hida sampai bercek-cok seperti itu untuk dapetin dia. Lalu aku juga beranjak dari tempat tabrakkanku dengan Ferta tadi, dan terlupa dengan tujuan awalku sebenarnya.
Matahari masih terlihat jingga di sebelah barat, aku dan teman-teman komunitasku telah berkumpul di tempat yang sudah kami janjikan. “Heng.. kamu bawa cat warna apa?” tanya Hendri temanku, “Eh, aku Cuma bawa cat hitam doang.” jawabku malu karena sebelumnya aku janjikan untuk bawa banyak warna. “Katanya mau bawa cat banyak?” tanya Hendri menagihku, “Sorry bro, aku lupa.” jawabku mencoba meminta pengertian. “Yaudah bro nggak apa-apa, yang penting kita bisa berkarya, emang kamu nanti mau gambar apa bro di tembok ini?” tanya Hendri penasaran. “Pokoknya spesial lah.” jawabku membuat penasaran. Lalu aku mulai mengambil kuas-kuas dari dalam tasku dan mulai menggores tembok-tembok kota yang sudah disediakan untuk komunitas bomber kami, mulai ku lukis bagian-bagian dari sketsa yang sudah aku buat, dan sekitar 2 jam kemudian, karyaku sudah selesai. “Aku harap Ferta melihat karyaku ini.” harapku dalam hati. Aku juga masih bingung apakah motivasiku menggambar wajahnya, tapi ini yang ada di kepalaku ya aku tuangkan saja. “Gambarmu keren bro.” kata Hendri memuji, “Makasih bro.” kata ku berterima kasih. Dan semua anggota kami terlihat sudah usai dengan karya-karya mereka mempercantik kota, lalu aku pun pergi dan beranjak pulang.
Di atas tempat tidurku aku berbaring sambil membuka media sosialku dan aku mulai merasa ingin tahu tentang Ferta. Ku lihat foto-fotonya, wajahnya tak berubah  dan ini nampak sangat alami. Lalu aku mulai menatap langit-langit kamarku dan memikirkan Ferta. Dia anggun, sederhana dan lembut namun tiba-tiba aku teringat tentang apa yang sedang ia hadapi saat ini, aku mulai berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi. Aku mulai membuat rencana dan menghasilkan banyak cara yang akan aku tempuh untuk menyudahi masalah ini, dan ada satu cara yang kemungkinan-kemungkinannya sudah aku perhitungkan, aku berharap dengan ini masalah Ferta cepat terselesaikan dan ia dapat tersenyum lagi tanpa beban di benaknya.
Siang itu nampak mendung, ruang kelas kini sudah nampak kosong, aku berjalan untuk melakukan apa yang aku rencanakan dan kebetulan Adi, salah satu penyuka Ferta sedang duduk di depan kelasnya bersama teman-temannya, “Di..?” teriakku memanggil dia, “Woy? Ada apaan tumben?” jawab Adi kaget sedang ada apakah gerangan aku memanggilnya. “Kamu tadi ditatangin Hida, dia nunggu kamu entar sore di jalan baru.” kataku dengan muka memanas-manasi, “Kayaknya sih dia mau nantangin berantem.” kataku meneruskan. “Wah cari gara-gara lagi dia, ok ok aku bakalan dateng.” jawab Adi penuh amarah yang menggebu-gebu. Dengan apa yang aku lihat, aku sudah merasa yakin bahwa rencanaku ini akan benar-benar berhasil. Lalu aku beranjak dari tempat di mana Adi berada, aku mulai mencari ke sekeliling sekolah dimanakah Hida berada. “Dho, kamu lihat Hida dimana?” tanyaku pada Ridho teman karib Hida. “Dia tadi ke Pop Ice-an sebelah, emang ada apaan?” tanya Ridho memastikan. “Nggak kok nggak ada apa-apa cuma mau ketemu aja, yaudah ya aku mau ketemu Hida dulu.” kata ku sambil pergi meninggalkan Ridho tanpa menatap wajahnya lagi.
Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di tempat dimana aku akan menemukan Hida. Aku mulai mencari Hida, nampaknya semua meja di Pop Ice-an itu kosong, namun aku lihat ada sepasang remaja yang datang dengan mesranya. Ku minum secangkir kopiku sambil mengawasi sepasang remaja tadi. Dan nampaknya aku kenal siapakah mereka, “Itu Mawar sama Hida, ngapain mereka berduaan?” kata ku penasaran. Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk melanjutkan rencanaku, dan aku menghampiri Hida. “Hai Hid! Lagi ngapain nih?” tanya ku dengan senyum di bibirku. “Eh Hengki, emm nggak ngapa-ngapain kok cuma main aja. Ada apaan tumben?” jawab Hida nampak bingung. “Yah apapun yang kalian lakukan, aku sih terserah aku cuma mau nyapain pesen dari Adi kamu di ajak ketemu di jalan baru nanti sore, nggak tau suruh ngapain.” kata ku dengan mempertimbangkan agar rencanaku berhasil. “Sebenarnya aku nggak mau cari gara-gara lagi sama dia, tapi ya aku bakalan dateng.” jawab Hida percaya diri. “Ok, aku pergi dulu ya, lanjutin senang – senangnya.” kata ku dengan nada bercanda. Aku beranjak dengan hati yang senang dan penasaran akan ter jadi apa dengan Adi dan Hida, apakah rencanaku berhasil, semoga saja.
Langit sudah mulai gelap dan aku yakin mereka sudah datang di jalan baru, 2 lampu merah lagi maka aku akan sampai di jalan baru. Nampak dari kejauhan 2 motor dan 2 orang yang saling berhadapan, aku berhenti dan hanya mengawasi dari jauh. Nampak tak ada hal yang berarti terjadi, hal yang aku harapkan, hal yang aku inginkan tak terjadi sama sekali. “Sial, rencanaku gagal.” gerutuku dalam hati. Aku masih tetap bersabar menanti namun hingga kedua orang itu pergi, tak ada sesuatu yang terjadi. “Ini benar-benar gagal. Lalu aku harus melakukan apa lagi?” tanya ku frustasi. Aku pergi dengan kecewa, karena usahaku tak menghasilkan apa-apa.
Sesampainya di rumah, aku membuka ponselku dan ku lihat ada sebuah pesan yang masuk “Hengki, aku tahu kamu  pasti cuma bohongin aku tentang Adi, tapi ya sudahlah aku nggak akan berurusan lagi tentang ini semua, aku sudah lupakkan Ferta. Dan tentang kemauanmu untuk membuat konflik antara aku dan Adi pun sudah aku acuhkan aku nggak peduli.” ku baca pesan itu, pesan itu dari Hida nampaknya mereka tahu tentang apa yang aku rencanakan dan aku agak was-was. Maksud hati ingin menghentikan masalah Ferta, malah aku membuat masalah, penyesalanlah yang kini hadir.
Keesokkan harinya, saat jam istirahat pertama aku menuju ke kantin sekolah dengan tujuan awal untuk mengisi perut yang kelaparan. Namun aku lihat ada Ferta yang sedang duduk di pojok kantin, aku mengampirinya dengan maksud untuk menyapanya. “Hai?” sapa ku penuh harap. “Hai.” jawabnya lembut. “Boleh duduk disini?” kataku sambil menunjuk kursi di sampingnya. “Iya silahkan.” katanya mempersilahkan. “Ngomong-ngomong lagi ngapain?” tanyaku asal. “Menurutmu?” jawabnya menganggapku aneh, “Eh iya, pasti mau makan ya?” kata ku merasa bodoh. Beberapa menit aku terdiam kebingungan mau berkata apa. Di samping wanita yang slalu aku pikirkan. “Emm, nanti sore ada acara nggak?” tanyaku. “Ada, tapi Cuma sebentar, memang ada apa?” tanyanya heran. “Acara apa?” tanyaku lagi. “Latihan tari, tapi paling setengah jam.” jawabnya lembut. “Emm, mau aku anterin?” tanyaku menawarkan dengan hati yang berharap dan jatung yang berdegup. “Nggak usah, jadi ngrepotin nanti.” Jawabnya dengan senyum manisnya, “Nggak kok, nggak apa-apa.” kataku meyakinkan Ferta . “Baiklah, terima kasih ya.” jawabnya  nampak sangat berterima kasih. Aku tahu dengan apa yang aku tawarkan, karena dia jarang sekali bawa kendaraan dan dia nampak kerepotan saat ada perlu. Hatiku kini senang bisa tahu lebih tentang wanita yang selama ini ada di pikiranku, aku harap nanti sore jadi indah.
“Yes, akhirnya sore juga, akhirnya..” kata ku sumringah. Aku mulai beranjak dari tempat duduk di kelasku dan mengemasi barang-barangku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. “Pinjam helm  mu dulu Ti” kataku berlari sambil membawa helm Sakti tanpa seijinnya. Aku berjalan menuju kelas Ferta dan berharap melihat wajahnya dengan penuh senyum yang sumringah pula. “Ayo berangkat.” ajakku bersemangat, “ayo.” jawabnya. Kami berjalan bersama melewati lorong-lorong sekolah, sesekali ku lihat wajahnya dan senyuman yang slalu nampak di wajahnya. Hingga tiba di tempat parkir senyum itu tak hilang, aku pun mulai menghidupkkan mesin motorku, “Sudah siap?” tanyaku sekali lagi. Anggukan yang mewakilkan maksud hatinya. Di sepanjang perjalanan, hatikku kegirangan. “Dengan siapakah aku sekarang? Bidadarikah? Putrikah?” tanya ku dalam hati, mungkin senyum yang dapat mewakilkan kegembiraanku saat ini. Belokkan demi belokkan aku dan Ferta lewati bersama dan akhirnya kami tiba di Sanggar tari tempat dimana Ferta berlatih. “Terima kasih ya.” kata nya kepadaku dengan senyum khasnya. “Iya sama-sama.” kata ku membalas. Dia pun beranjak ke Sanggar tempatnya berlatih, dan Sanggarnya yang klasik dan indah memperlihatkan bagaimana dia dilatih, pasti dengan keunikkan dan keindahan pula, nampak dari tempatku saat ini ia bersiap untuk berlatih dengan selendang putihnya selendang yang aku jatuhkkan saat itu, saat aku bertabrakkan dengannya. Dia kini mulai berlatih, melenggok, tangannya pun kini mulai bergerak, benar-benar gerakkan yang sangat dinamis, indah sekali. Tak terasa setengah jam sudah terlewatkan aku tak sadar sama sekali, aku terpaku pada gerakkan-gerakkan tubuhnya. “Hai, kamu masih nungguin?” tanyanya kaget. “Eh, iya aku masih nungguin kamu, tadi lihat kamu berlatih, gerakkanmu indah banget.” kata ku menggambarkan apa yang aku lihat tadi, “Jadi malu.” jawabnya dengan wajahnya yang memerah karena malu. “Ferta, aku ada sesuatu buat kamu.” kata ku pada membuatnya penasaran, “Ah apaan?” tanya nya terlihat ingin tahu, “Yaudah ayo naik, nih helmnya.” kata ku sambil memberikan helm padanya. Aku mulai menghidupkan mesin motorku dan memacunya menuju tempat yang aku inginkan, aku harap Ferta senang dengan kejutanku yang satu ini. Tak butuh watu lama akhirnya, kami tiba di tempat dimana penuh dengan karya-karya seni lukis tembok kota. “Tempat apa ini?” tanya nya kebingungan. “Tenang engga apa-apa kok, ini tempat dimana para seniman tembok jalanan berkarya, dan aku mau nunjukkin sesuatu buat kamu.” kata ku memberi tahu. Aku membimbingnya menuju tempat dimana aku melukiskan wajahnya yang cantik nan anggun, yang dulu kubuat khusus spesial untuknya dan kuharapkan Ferta tau, dan kini akhirnya ia tahu juga dengan karyaku yang satu ini, “Ini, buat kamu. Karyaku lho.” kata ku menunjukkan lukisan wajahnya, “Wah, bagus sekali. Indah.” jawabnya tertakjub-takjub, kulihat matanya berkaca-kaca sepertinya ia ingin mengeluarkan air mata tak tahu mengapa, “Kamu kenapa? Nggak bagus ya? Atau gimana?” tanya ku panik melihatnya meneteskan air mata. “Enggak kok, aku hanya terharu karena selama ini tak ada seorang pun yang melakukan hal sespesial ini kepadaku, terima kasih.” jawab nya sambil mengusap air mata dan mulai menampakkan senyuman di wajahnya. “Emm, Fert. Aku mau bicara sesuatu, selama ini aku lihat banyak sekali laki-laki yang menyukaimu hingga ada suatu kejadian yang sebenarnya tak kamu harapkan terjadi, dan aku tahu semua laki-laki yang datang ke kamu itu tak ada yang kamu inginkan hanya saja kamu nggak mau menyakiti mereka kan? Dan pada saat itu aku mulai tahu bagaimana perasaanmu, bingung, sedih itulah suasana hati yang terlintas di pikiranku, benar begitu kan? Aku pun ingin sekali membebaskanmu dari itu semua yah dengan caraku yaitu dengan melindungimu tentunya. Aku mau ngomong ini ke kamu, maukah kamu menjadi teman hidupku, karena ku yakin namamulah yang ada di buku takdirku.” tanya ku padanya penuh harap dan semoga ini tidak berakhir mengecewa. Tiba-tiba Ferta lari meninggalkanku dan tak tahu kemanakah ia akan pergi, “Kamu mau kemana?” tanya ku sambil mulai untuk mengejarnya,”Ferta.., Ferta.., kamu mau kemana?” tanya ku, namun disaat ku mengejarnya ia sudah pergi dengan angkot yang ia hentikkan, nampak dari sini ia menangis tak tahu mengapa, apakah yang salah tentang semua ini? Aku pun berjalan menuju tempat dimana wajahnya ku lukiskan indah, aku duduk berpikir sejenak apakah yang salah dari diriku, apakah dia trauma tentang kata-kata cinta, atau ia tak mengharapkan semua ini. Namun aku yakin dia sebenarnya ingin, namun mungki ia belum siap dengan semua ini. Aku berdoa semoga ia tetap baik-baik saja dan segera melupakan hal-hal yang membuatnya takut.
Pagi hari pun tiba, aku berjalan menuju kelasku yang tak henti-hentinya ku singgahi. Dan seperti biasa aku lewati kelasnya, kelas Ferta. Namun sepertinya dia belum ada, karena tempat duduknya masih kosong, dalam hatiku berdoa semoga dia baik-baik saja dan tidak terjadi sesuatu hal yang menimpa bidadariku ini, aku meneruskan jalanku dan terus berdoa.
Tinggal selorong lagi aku sampai di kelasku namun ku lihat di ujung lorong ada segerombolan lelaki yang membawa balok, tak tahu mereka siapa dan mau apa. Aku terus saja berjalan tanpa menghiraukan apa yang di lakukan oleh lelaki-lelaki itu. Aku semakin maju dan semakin maju, begitu pula mereka semakin maju dan semakin maju juga, aku mulai panik apa yang akan terjadi, aku agar merunduk agar tak melihat mereka namun tiba-tiba ku lihat ternyata itu Adi dan sekawannya, sontak aku berlari dan ternyata mereka ikut berlari dan mengejarku aku terus berlari dan berharap dapat meloloskan diri, namun sial memang memihakku aku tergelincir saat akan berbelok menghindari mereka tentunya aku terjatuh, dan tanpa berpikir lama lagi mereka menangkapku dan mulai memukuliku, hantaman demi hantaman kurasakan di sekujur tubuhku hingga tak tahu bagaimana keadaanku hingga datang satu pukulan yang mendarat tepat dibagian belakang kepalaku lagsung saja aku tak sadarkan diri, dan tak merasakan lagi apa yang sedang terjadi, aku merasa gelap tak bisa melihat apapun juga nampak bayang-bayang Ferta tawanya, senyumnya, hingga tangsinya bayangan itu berputar-putar di kegelapanku hingga ku dengar suara memanggil namaku tak tahu dari mana itu, kucari sumber suara itu di kegelapan. Hingga datang sebuah cahaya dan aku mendekatinya.
“Hengki.., Hengki.., bangun! Aku disini, bangunlah.” kata Ferta yang nampaknya ia menangis sesaat setelah ku tersadar, suaranya membangunkanku. Aku mulai membuka mata dan terlihat lampu bersinar nampak sangat terang ku lihat korden yang berwarna putih polos dan bau yang khas alat-alat medis, nampaknya aku kini sedang berada di rumah sakit. “Hai Ferta.” kata ku dengan berat. “Syukurlah nak kamu sudah sadar.” kata ibu ku khawatir. “Ia nak, untunglah.” kata ayah ku menyambung. “Hengki akhirnya kamu sadar juga.” kata Ferta sambil memelukku dan ia meneteskan air mata, air mata kesedihan dan kebahagiaan tentunya. Ia sangat bahagia nampaknya hingga tak menghiraukan ada ayah dan ibu ku. Namun tak apalah, memang ini yang aku harapkan, aku bisa melihatnya dalam keadaan yang baik-baik saja dan sebaliknya dia juga mengaharapkan aku baik-baik saja meskipun yah seperti ini keadaanku kini. Untung saja Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk bisa melihat Ferta lagi. “Hengki.. kamu jangan pergi-pergi lagi ya, aku nggak mau kamu tinggal pergi.” katanya membuatku sangat kegirangan. “Iya Ferta, aku nggak akan ninggalin kamu kok.” kata ku menenangkannya dari kesedihannya. “Kamu janjikan mau jagain aku, lindungin aku.” kata nya dengan air mata yang masih terus menetes. “Iya aku janji.” kata ku dengan lemas. Dan moment itu yang sangat menyedihkan sekaligus membahagiakan bagiku, dapat berkumpul dengan keluargaku dan tentu dengan Ferta meski dengan keadaanku yang seperti ini terkapar tak berdaya.
5 hari kemudian, luka-lukaku sudah sembuh meskin belum sembuh secara total dan untung saja luka di kepalaku itu bukanlah luka yang begitu parah hanya melukai tempurung kepalaku saja dan lebam-lebam pukulan sudah tak kurasa kan lagi sakitnya meski warna biru di sekujur tubuhku masih terlihat sangatlah jelas. Namun aku sudah mampu bersekolah meski tanganku masih terluka dan tak di perbolehkan memakai motor terlebih dahulu, tiba-tiba pagi itu. “Tin, tin.. Hengki.. Hengki.” teriak seseorang dari luar rumah ku. Siapakah yang datang pagi-pagi seperti ini? Aku pun berjalan keluar dan melihat Ferta memakai motor. “Hengki.. ayo sekolah yuk.” ajak Ferta dengan senyumnya yang sumringah. “Emm.. tapi.” kata ku kebingungan, “Ahh. Udah ayo deh cepetan naik keburu telat nih.” kata Ferta membujuk, “Iyadeh ayo” kata ku menerima tawaran Ferta. Aku pun naik dan kebingungan, aku diboncengin wanita selembut dia, seanggun dia. Yah aku jadi merasa sangat lemah, namun aku merasa senang karena bisa bersama Ferta lagi. Setibanya di dekat gerbang sekolah, teman-teman sesekolahku melihat aku dan Ferta, mereka tersenyum kepada kami, aku pun merasa sedikit malu. “Terima kasih ya. Kamu udah jemput aku, terus bocengin aku lagi.” kata ku berterima kasih. “Iya nggak apa-apa, tapi kamu jangan tersinggung ya aku boncengin.” kata nya dengan nada meledek, “Ehh, enggak-enggak.” jawab ku agak kagok, “Yaudah ayo ke kelas.” ajak Ferta, “Ayo.” jawab ku. Dan ini sebuah kebahagiaan yang luar biasa wanita yang dulu datang dengan kesedihan kini hadir dengan wajah yang nampak sangat sumringah, aku harapkan ini terus terjadi kesedihan di wajah Ferta tak nampak lagi. Aku pun melewati hari ini dengan sangat bahagia, karena bisa bersama bidadariku wanita pendamping hidupku.
10 menit setelah bel pulang sekolah berbunyi aku belum beranjak dari tempat dudukku dan masih mendengarkan musik dari ponselku, hingga tiba-tiba Ferta datang menghampiriku. “Hengki.. lagi ngapain?” tanya Ferta dengan senyum manisnya. “Lagi dengerin musik aja. Kamu sendiri mau ngapain?” tanya ku padanya, “Kamu lagi kosong nggak ada acara kan ayo ke tempat itu lagi yuk.” pinta nya padaku. “Oh ayo deh. Tapi aku ya yang bawa motor” kata ku mencoba membujuknya untuk memberikan motornya agar aku nggak diboncengin lagi, “Ah, nggak usah kamu lagi sakit biar aku aja. Dah ayo berangkat.” ajaknya tak sabar. Aku pun ditariknya, dan kami mulai menuju ke tempat indah yang jadi tujuan kami. Meski aku masih dibonceng Ferta namun aku tetap senang dan berharap moment nanti adalah moment yang tepat untuk yang kedua kalinya aku mengatakan tentang isi hatiku padanya.
Kami pun tiba di tempat yang kami tuju, tempat yang penuh ekspresi kehidupan manusia kota, kami berjalan bersama menuju tempat di mana wajah Ferta terlukiskan, “Ferta?” kata ku memancing pembicaraan, “Iya Hengki ada apa?” jawab nya lembut, “Sebelumnya aku minta maaf waktu itu aku sakitin kamu aku mengatakan hal yang seharusnya tak ku katakan dan itu membuatmu jadi sedih lagi, namun kini aku ingin mengatakan hal yang sama namun aku berharap ini tak membuatmu bersedih lagi, membuatmu menangis lagi tapi membuatmu senang dan bahagia, aku mau berkata aku cinta kamu.” kata ku dengan penuh gejolak di hati dan jantung yang berdetak dengan sangat kencang dan berharap Ferta tak melakukan hal yang sama seperti dahulu. “Aku juga cinta kamu.” jawab Ferta dengan senyum yang merekah. Aku sangat bahagia, ku peluk tubuhnya, “Terima kasih.” kata ku dengan penuh kebahagiaan. “Sebentar, aku ada sesuatu buat kamu.” kata ku menyuruhnya menunggu, aku mencari bunga kuning kecil yang banyak tumbuh di sekita tempat ini, aku petik satu bunga dan aku bawakan itu ke Ferta. “Tebak aku bawa apa? Aku bawa ini buat kamu.” kata ku sambil memberikan bunga kuning kecil yang cantik, “Sini, biar aku pakaikan.” ujar ku sambil menyelipkan bunga kecil kuning itu ke sela telinga kirinya, “Kamu nampak cantik sekali Fert.” kata ku memujinya. “Terima kasih Hengki, tapi bukan cuma kamu yang punya sesuatu buat aku, aku juga punya sesuatu buat kamu.” kata nya sambil menahanku untuk menunggunya, beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa selendang putih yang selalu ia pakai saat latihan menari, “Ini buat apa Fert?” tanya ku terheran-heran. “Ini buat kamu, karena ini selendang putih pembawa lukisan cinta kita.” kata Ferta melukiskan apa yang ia berikan. “Emm, mumpung masih sore, ayo naik ke menara kita lihat sunset bareng.” tanya ku menawarinya. “Ayo.” jawab Ferta senang. Kami pun mulai beranjak dan menuju menara yang tak jauh dari tempat kami berdiri, kami pun naik dan tak butuh waktu lama aku dan Ferta sudah sampai di puncak menara. “Lihat mataharinya sudah hampir tenggelam.” ujar Ferta. “Iya indah banget ya.” kataku, “Ferta, aku berharap cinta kita abadi ya, hingga kita tua dan hingga kita sudah ada di tanah kubur.” kata ku penuh harap. “Iya, aku harap kita mampu menjaga cinta ini dengan baik, meski hujan badai kan menghepaskan tubuh kita, kita nggak boleh menyerah.” kata Ferta membalas. Aku dan Ferta pun sudah saling berjanji untuk menjaga cinta kami ini, cinta yang penuh kisah liku, masalah pelik dan kebahagiaan mewarnai kisah cinta kami. Kami berharap cinta putih kami ini tetap terjaga di bawah naungan Tuhan.

-TAMAT-



0 komentar:

 
;