Sabtu, 28 Januari 2012

SEBUNGKUS NASI UNTUK IBU

             Pada suatu hari dibawah sinar matahari yang terik,disebuah gubug kumuh di pinggir gedung-gedung yang berdiri kokoh,gubugnya hanya berdindingkan kardus yang usang dan beratapkan sehelai terpal yang telah berlubang, Bu Karni tidur terlelap dengan hanya beralaskan tikar-tikar yang telah rusak menahan rasa sakit, Bu Karni telah lama sakit dan ia telah lama ditinggal oleh suaminya.
            Bu Karni mempunyai seorang anak yang sangat baik dan berbakthi kepadanya, anak ini bernama Harjo, tubunya kurus kering, dekil dan berambut ikal. Namun ia sangat berenergi dan mempunyai prinsip hidup yang luar biasa. Setiap hari Harjo mencari sesuap nasi untuk dia dan ibunya, walau kadang mereka tak makan sedikitpun.
            Ayam jantan telah berkokok bertanda fajar telah muncul, Bu Karni membuka matanya, ia memandangi seluruh sisi gubug kardusnya namun anaknya tak ada, memang Harjo selalu bangun pagi untuk mencari makan karena ibunya terbaring sakit, Harjo telah menjadi tulsng punggung keluarga sejak 1 tahun lalu setelah dia ditinggal oleh Bapaknya dan Ibunya yang sakit-sakitan.
            Harjo berjalan ditrotoar jalan yang penuh sesak dengan kendaraan dengan membawa karung yang sudah berisi sedikit botol-botol air mineral dan kardus-kardus. Ia terus berjalan sambil sesekali masuk keselokan untuk mengambil barang-barang bekas yang bisa ia jual nanti, walau bau sampah yang sangat tidak enak, namun ia tidak peduli. Harjo telah terbiasa dengan bau sampah-sampah yang tidak enak karena ia telah setahun lebih bergelut dengan sampah-sampah.
            Pagi itu awan di langit terlihat jarang sehingga, matahari dengan bebas memancarkan sinarnya yang panas dan terik. Keringat telah menetes dari kening Harjo karena teriknya matahari namun Harjo tetap bersemangat mengaduk-aduk sampah yang ia temukan di sepanjang trotoar untuk mencari barang-barang bekas yang sangat berarti baginya. Sedikit demi sedikit karung Harjo mulai terisi barang bekas yang dianggap Harjo adalah emas-emas yang sangat mengkilat. Keringat Harjo makin mengucur deras bagaikan air hujan yang turun, seluruh bajunya telah basah namun ia masih berjalan dan mencari barang bekas yang ia sangat harapkan untuk makan dirinya dan ibunya hari ini.
            Krucuk..krucukk.. perut Harjo mulai berbunyi itu bertanda bahwa ia sudah mulai lapar. Ia duduk dahulu di dekat halte dipinggir sekolahan, ia melihat anak-anak yang berangkat sekolah dengan beseragam rapih dan bersih ia merasa iri dengan itu semua, “Kapan aku bisa berseragam seperti mereka?” Tanya Harjo didalam hati, ia sangat ingin bersekolah seperti anak-anak itu namun apadaya ia hanya mampu melihat saja. Dengan tubuh yang mulai merasa segar kembali Harjo kembali bangkit dari duduknya, “Aku harus semangat, suatu saat aku akan menjadi pemimpin untuk membanggakan ibu.” Kata Harjo untuk memberi semangat kepada dirinya sediri untuk kembali mencari barang-barang bekas karena karungnya belum terisi penuh.
            Wajah ceria dan senyum yang manis, ia kembali mengaduk-aduk tong sampah. Dengan mengingat kalimatnya sendiri tadi, ia semakin semangat dan tidak terasa karungnya telah terasa penuh. Matahari tak kunjung berhenti memanas  dan membuat Harjo merasa haus namun ia tak menghiraukan hausnya itu. Setelah karungnya penuh untuk menghemat tenaganya ia meletakkan barang-barang bekasnya tadi di tempat ia biasa menyimpan sementara barang bekasnya untuk nanti ia jual ke pengepul, lalu ia mengambil bekas gelas air mineral dari tumpukan barang bekas di dalam karungnya lalu mengambil kecekan dari dalam kantongnya yang telah ia persiapkan dari rumah, kecekan lusuh ini yang setia menemaninya dibawah terik matahari dan ditengah padatnya kota walau hanya dari bekas tutup-tutup botol minuman bersoda yang dibuat oleh Harjo sendiri, meski keringat bercucuran, lapar maupun haus yang ia rasakan namun tak menyurutkan semangatnya.
            Dengan hanya bermodalkan bekas gelas air mineral dan kecekan lusuh Harjo meluncur ke jalan dan menghampiri mobil maupun motor di dekat lampu merah di perempatan samping kantor pemerintahan daerah. Kicikk.. Kicik... demikian suara kecekan Harjo yang mengiringi dendangan Harjo yang merdu. Bernyanyi untuk menhibur para pengendara yang penat oleh padatnya lalulintas kota ini. Dengan wajah Harjo yang khas dan senyum yang selalu melekat di wajahnya ia bernyanyi dan berharap mendapat rupiah demi rupiah.
            Hawa panas dan asap kendaraan yang sangat pekat yang tentu saja tidak sehat namun Harjo tidak menghiraukan semua itu, keinginannya untuk menjadi pemimpin membuat ia selalu bersemangat. Rupiah demi rupiah telah Harjo dapatkan lalu tiba-tiba, Tinn..Tinn.. mobil hitam yang melaju kencang menabrak Harjo yang tengah berjuang mencari sebungkus nasi untuk ibunya. Harjopun terpental beberapa meter, darah telah mengucur dari seluruh tubuh Harjo dan seluruh hasil ia mengamenpun telah tercecer. Pengemudi mobil hitam ini keluar dengan wajah yang sangat panik. Ia adalah seorang ibu-ibu yang pulang dari menjemput anaknya, dengan wajah yang panik dan cemas ia berlari mendekati Harjo, “Nak? nak? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ibu ini kepada Harjo namun Harjo terbujur lemas bersimbah darah dan tak mampu mengucapkan satu katapun dari bibirnya. Orang-orang telah mengerubuti Harjo. “Dek?dek?” Tanya seseorang dari kerumunah orang-orang itu. Namun Harjo tak mampu menjawab dengan air mata yang menetes, ibu-ibu pemilik mobil hitam ini pun meminta tolong kepada orang-orang ini “Tolong-tolong! Tolong bawakan anak ini ke mobil saya!” pinta ibu ini. “Baik-baik” jawab orang-orang serentak. Berbondong-bondong orang-orang mengankat Harjo dan membawa ke mobil hitam milik ibu-ibu itu, “Terima kasih.” Ucap ibu itu kepada orang-orang yang telah membantunya dan dengan air mata yang masih deras mengucur ia menhidupkan mobil hitamnya dan melaju menuju rumah sakit.
            Ibu ini bernama Bu Nur. “Mama..? anak ini tidak apa-apa kan?” Tanya anak ibu Nur yang bernama beni. Beni terus menanyai mamanya namun karena tergesa-gesa dan panik Bu Nur tak menghiraukan pertanyaan anaknya itu. Dengan wajah yang takut dan kasihan Beni melihati tubuh Harjo yang penuh darah di bangku belakangnya. “Kasian kamu kawan..” Ucap Beni di dalam hatinya yang merasa iba melihat Harjo yang lemas bersimbah darah.
            Beberapa saat kemudian mereka pun sampai dirumah sakit, dengan air mata yang masih mengucur deras Bu Nur keluar dari dalam mobil hitamnya dan berlari ke dalam Rumah Sakit itu untuk mencari perawat rumah sakit itu untuk mengambil Harjo dari dalam mobil hitamnya itu. Lalu kereta dorongpun dibawa perawat-perawat rumah sakit itu untuk membawa Harjo. Beni hanya melihat Harjo yang dibawa oleh para perawat itu dan hanya mampu mengiringi Harjo yang masih bersimbah darah.
            Sesampainya di ruang UGD rumah sakit, Harjo dibawa masuk untuk diberi pertolongan. Bu Nur dan Beni hanya mampu menahan sedih dan iba dideret kursi tunggu. “Ma.. sudah ma jangan menagis lagi aku percaya Tuhan akan melindungi anak itu.” Ujar Beni. “Iya nak.. mama percaya, semoga anak itu baik-baik saja.” Jawab Bu Nur. Di dalam ruang UGD Harjo terbaring lemas. Para perawat membersihkan darah yang berada di tubuh Harjo. Dokter pun mulai menangani Harjo. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk menagani Harjo, karena luka Harjo tergolong agak parah. Jarum jam pun berputar dan telah menunjukkan bahwa 1 jam telah berlalu. Lalu dokter keluar dan menghampiri Bu Nur dan Beni yang duduk menunggu Harjo, “Bu.? Anak Ibu sudah kami tangani. Luka anak ibu tergolong agak parah namun tidak apa-apa karena  segera dibawa ke sini, jadi anak ibu belum terlambat ditangani dan masih tertolong.” Kata dokter yang menagani Harjo. “Syukurlah pak. Terima kasih.” Ujar Bu Nur. “Iya sama-sama saya pergi dulu ya bu.” Jawab dokter sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
            Bu Nur dan Beni pun masuk kedalam ruang UGD untuk melihat keadaan Harjo. “Syukurlah nak kamu masih tertolong.”Ujar Bu Nur. “Semoga kamu cepat sembuh kawan” Ujar Beni kepada Harjo.
            Beberapa jam kemudian Harjo membuka mata dan tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya, “Dimana aku?” Tanya Harjo dengan sangat cemas. “Aduh.. sakit, kenapa aku? Badanku terasa sakit.” Kata Harjo kebingungan. “Tenang nak tenang badanmu masih terluka, kamu tadi tertabrak olehku, dan kamu sekarang sedang di rumah sakit.” Jawab Bu Nur. “Maaf siapa anda?” Tanya Harjo. “Nama Ibu, Nurhayati. Panggil saja Bu Nur dan itu anak saya Beni. Sudah kamu tidur saja.” Jawab Bu Nur. Harjopun kembali tidur karena tak mampu untuk bakit karena tak mampu menahan rasa sakit ditubuhnya.
            Beni pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Harjo yang tidur di atas rajang. “Kamu tidak apa-apa kan kawan? Nama kamu siapa?” Tanya Beni kepada Harjo. “Tidak apa-apa, namaku Harjo.” Jawab Harjo lirih. “Kamu tinggal dimana?” Tanya Bu Nur. “Saya nggak punya rumah, saya hanya tinggal di gubug kardus bersama ibu saya yang sakit.” Jawab Harjo iba. “Oh ya nanti kamu akan kami bawa pulang.” Ujar Bu Nur. “Iya Bu.” Jawab Harjo. Lalu Harjo pun terlelap.
            Jam dinding didalam ruangan itu menunjukan bahwa telah jam 6 petang dan Harjopun bangun. “Bu, saya mau pulang, ibu saya pasti cemas menunggui saya, ibu saya sakit.” Pinta Harjo kepada  Bu Nur. “Baiklah tapi kamu sudah agak baikan?”Tanya Bu Nur, “Sudah Bu”. Jawab Harjo.
            Lalu Harjopun dituntun oleh Beni dan Bu Nur menuju ke tempat di parkirkannya mobil hitam yang telah menabrak Harjo tadi siang. Lalu Harjopun masuk kedalam mobil hitam itu begitupula Beni dan Bu Nur. Lalu mobil hitam itupun mulai berjalan ditengah perjalanan, Bu Nur bertanya kepada Harjo, “Kamu sudah makan?”. “Belum Bu. Ibu saya pun pasti juga belum makan.” Jawab Harjo. “Baik nanti kita mampir makan dulu, lalu pulang.” Ujar Bu Nur.
            Merekapun mampir di rumah makan, lalu mereka pun masuk dan makan. Setelah mereka selesai makan mereka keluar dengan membawa bungkusan nasi dan menuju mobil hitam Bu Nur.
            Mereka pun melajutkan perjalanan untuk ke gubug Harjo, setengah jam kemudian mereka sampai di gang dekat gubug kardus Harjo. Mereka pun turun dan berjalan menuju gubug yang lusuh itu.
            “Bu.. Ibu.. Harjo pulang.” Kata Harjo sambil menghampiri Ibunya. “Harjo... kemana saja kamu? Ibu cemas menunggui kamu, tapi kamu tak kunjung pulang.” Tanya Bu Karni. “Tadi Harjo ketabrak saat ngamen di perempatan.” Jawab Harjo. “Tapi kamu enggak apa-apakan?” Tanya Bu Karni Cemas. “Enggak Bu.. tadi Harjo ditolong Bu Nur, Bu Nur yang menabrakku.” Jawab Harjo. “Lalu di mana Bu Nur ?” Tanya Bu Karni penasaran. “ Diluar Bu.. ayo bu kita keluar” Ajak Harjo. Mereka pun keluar menghampiri Bu Nur dan Beni. “Ini dia Bu Nur bu..., Bu Nur ini Ibu saya.” Kata Harjo menjelaskan. “Oh iya terima kasih ya Bu Nur sudah menolong anak saya.” Ujar Bu Karni. “Iya Bu dan saya minta maaf karena sudah menabrak Harjo.” Ujar Bu Nur. “Ini Bu ada sebungkus nasi untuk ibu tadi Bu Nur membelikan untuk Ibu.” Kata Harjo.
            Dan mereka pun berbincang-bincang dibawah kemerlipnya bintang di langit  walaupun hanya beralaskan kardus-kardus yang di susun Harjo. Dan Bu Karni pun bangga kepada anaknya karena telah berusaha dengan keras sebagai tulang punggung keluarga. Sambil membuka bungkusan nasi tadi Bu Karni menagis bangga kepada Harjo dan memeluk erat Harjo lalu berterima kasih kepada anaknya itu. “Terima kasih nak.” Kata Bu Karni. “Iya bu.. kan Harjo pemimpin. Hahaha” , Jawab Harjo bangga. Dan mereka pun serentak tertawa bahagia.
TAMAT

0 komentar:

 
;