Pada suatu hari dibawah sinar
matahari yang terik,disebuah gubug kumuh di pinggir gedung-gedung yang berdiri
kokoh,gubugnya hanya berdindingkan kardus yang usang dan beratapkan sehelai
terpal yang telah berlubang, Bu Karni tidur terlelap dengan hanya beralaskan
tikar-tikar yang telah rusak menahan rasa sakit, Bu Karni telah lama sakit dan
ia telah lama ditinggal oleh suaminya.
Bu Karni mempunyai seorang anak yang
sangat baik dan berbakthi kepadanya, anak ini bernama Harjo, tubunya kurus
kering, dekil dan berambut ikal. Namun ia sangat berenergi dan mempunyai
prinsip hidup yang luar biasa. Setiap hari Harjo mencari sesuap nasi untuk dia
dan ibunya, walau kadang mereka tak makan sedikitpun.
Ayam jantan telah berkokok bertanda
fajar telah muncul, Bu Karni membuka matanya, ia memandangi seluruh sisi gubug
kardusnya namun anaknya tak ada, memang Harjo selalu bangun pagi untuk mencari
makan karena ibunya terbaring sakit, Harjo telah menjadi tulsng punggung keluarga
sejak 1 tahun lalu setelah dia ditinggal oleh Bapaknya dan Ibunya yang
sakit-sakitan.
Harjo berjalan ditrotoar jalan yang
penuh sesak dengan kendaraan dengan membawa karung yang sudah berisi sedikit
botol-botol air mineral dan kardus-kardus. Ia terus berjalan sambil sesekali
masuk keselokan untuk mengambil barang-barang bekas yang bisa ia jual nanti,
walau bau sampah yang sangat tidak enak, namun ia tidak peduli. Harjo telah
terbiasa dengan bau sampah-sampah yang tidak enak karena ia telah setahun lebih
bergelut dengan sampah-sampah.
Pagi itu awan di langit terlihat
jarang sehingga, matahari dengan bebas memancarkan sinarnya yang panas dan
terik. Keringat telah menetes dari kening Harjo karena teriknya matahari namun
Harjo tetap bersemangat mengaduk-aduk sampah yang ia temukan di sepanjang
trotoar untuk mencari barang-barang bekas yang sangat berarti baginya. Sedikit
demi sedikit karung Harjo mulai terisi barang bekas yang dianggap Harjo adalah
emas-emas yang sangat mengkilat. Keringat Harjo makin mengucur deras bagaikan
air hujan yang turun, seluruh bajunya telah basah namun ia masih berjalan dan
mencari barang bekas yang ia sangat harapkan untuk makan dirinya dan ibunya
hari ini.
Krucuk..krucukk.. perut Harjo mulai
berbunyi itu bertanda bahwa ia sudah mulai lapar. Ia duduk dahulu di dekat
halte dipinggir sekolahan, ia melihat anak-anak yang berangkat sekolah dengan
beseragam rapih dan bersih ia merasa iri dengan itu semua, “Kapan aku bisa
berseragam seperti mereka?” Tanya Harjo didalam hati, ia sangat ingin
bersekolah seperti anak-anak itu namun apadaya ia hanya mampu melihat saja.
Dengan tubuh yang mulai merasa segar kembali Harjo kembali bangkit dari
duduknya, “Aku harus semangat, suatu saat aku akan menjadi pemimpin untuk
membanggakan ibu.” Kata Harjo untuk memberi semangat kepada dirinya sediri
untuk kembali mencari barang-barang bekas karena karungnya belum terisi penuh.
Wajah ceria dan senyum yang manis,
ia kembali mengaduk-aduk tong sampah. Dengan mengingat kalimatnya sendiri tadi,
ia semakin semangat dan tidak terasa karungnya telah terasa penuh. Matahari tak
kunjung berhenti memanas dan membuat
Harjo merasa haus namun ia tak menghiraukan hausnya itu. Setelah karungnya
penuh untuk menghemat tenaganya ia meletakkan barang-barang bekasnya tadi di tempat
ia biasa menyimpan sementara barang bekasnya untuk nanti ia jual ke pengepul,
lalu ia mengambil bekas gelas air mineral dari tumpukan barang bekas di dalam
karungnya lalu mengambil kecekan dari dalam kantongnya yang telah ia persiapkan
dari rumah, kecekan lusuh ini yang setia menemaninya dibawah terik matahari dan
ditengah padatnya kota walau hanya dari bekas tutup-tutup botol minuman bersoda
yang dibuat oleh Harjo sendiri, meski keringat bercucuran, lapar maupun haus
yang ia rasakan namun tak menyurutkan semangatnya.
Dengan hanya bermodalkan bekas gelas
air mineral dan kecekan lusuh Harjo meluncur ke jalan dan menghampiri mobil
maupun motor di dekat lampu merah di perempatan samping kantor pemerintahan
daerah. Kicikk.. Kicik... demikian suara kecekan Harjo yang mengiringi
dendangan Harjo yang merdu. Bernyanyi untuk menhibur para pengendara yang penat
oleh padatnya lalulintas kota ini. Dengan wajah Harjo yang khas dan senyum yang
selalu melekat di wajahnya ia bernyanyi dan berharap mendapat rupiah demi
rupiah.
Hawa panas dan asap kendaraan yang
sangat pekat yang tentu saja tidak sehat namun Harjo tidak menghiraukan semua
itu, keinginannya untuk menjadi pemimpin membuat ia selalu bersemangat. Rupiah demi
rupiah telah Harjo dapatkan lalu tiba-tiba, Tinn..Tinn.. mobil hitam yang
melaju kencang menabrak Harjo yang tengah berjuang mencari sebungkus nasi untuk
ibunya. Harjopun terpental beberapa meter, darah telah mengucur dari seluruh
tubuh Harjo dan seluruh hasil ia mengamenpun telah tercecer. Pengemudi mobil
hitam ini keluar dengan wajah yang sangat panik. Ia adalah seorang ibu-ibu yang
pulang dari menjemput anaknya, dengan wajah yang panik dan cemas ia berlari
mendekati Harjo, “Nak? nak? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Ibu ini kepada Harjo
namun Harjo terbujur lemas bersimbah darah dan tak mampu mengucapkan satu
katapun dari bibirnya. Orang-orang telah mengerubuti Harjo. “Dek?dek?” Tanya
seseorang dari kerumunah orang-orang itu. Namun Harjo tak mampu menjawab dengan
air mata yang menetes, ibu-ibu pemilik mobil hitam ini pun meminta tolong
kepada orang-orang ini “Tolong-tolong! Tolong bawakan anak ini ke mobil saya!”
pinta ibu ini. “Baik-baik” jawab orang-orang serentak. Berbondong-bondong
orang-orang mengankat Harjo dan membawa ke mobil hitam milik ibu-ibu itu, “Terima
kasih.” Ucap ibu itu kepada orang-orang yang telah membantunya dan dengan air
mata yang masih deras mengucur ia menhidupkan mobil hitamnya dan melaju menuju
rumah sakit.
Ibu ini bernama Bu Nur. “Mama..?
anak ini tidak apa-apa kan?” Tanya anak ibu Nur yang bernama beni. Beni terus
menanyai mamanya namun karena tergesa-gesa dan panik Bu Nur tak menghiraukan
pertanyaan anaknya itu. Dengan wajah yang takut dan kasihan Beni melihati tubuh
Harjo yang penuh darah di bangku belakangnya. “Kasian kamu kawan..” Ucap Beni
di dalam hatinya yang merasa iba melihat Harjo yang lemas bersimbah darah.
Beberapa saat kemudian mereka pun
sampai dirumah sakit, dengan air mata yang masih mengucur deras Bu Nur keluar
dari dalam mobil hitamnya dan berlari ke dalam Rumah Sakit itu untuk mencari
perawat rumah sakit itu untuk mengambil Harjo dari dalam mobil hitamnya itu.
Lalu kereta dorongpun dibawa perawat-perawat rumah sakit itu untuk membawa
Harjo. Beni hanya melihat Harjo yang dibawa oleh para perawat itu dan hanya
mampu mengiringi Harjo yang masih bersimbah darah.
Sesampainya di ruang UGD rumah
sakit, Harjo dibawa masuk untuk diberi pertolongan. Bu Nur dan Beni hanya mampu
menahan sedih dan iba dideret kursi tunggu. “Ma.. sudah ma jangan menagis lagi
aku percaya Tuhan akan melindungi anak itu.” Ujar Beni. “Iya nak.. mama
percaya, semoga anak itu baik-baik saja.” Jawab Bu Nur. Di dalam ruang UGD
Harjo terbaring lemas. Para perawat membersihkan darah yang berada di tubuh
Harjo. Dokter pun mulai menangani Harjo. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk
menagani Harjo, karena luka Harjo tergolong agak parah. Jarum jam pun berputar
dan telah menunjukkan bahwa 1 jam telah berlalu. Lalu dokter keluar dan
menghampiri Bu Nur dan Beni yang duduk menunggu Harjo, “Bu.? Anak Ibu sudah kami
tangani. Luka anak ibu tergolong agak parah namun tidak apa-apa karena segera dibawa ke sini, jadi anak ibu belum terlambat
ditangani dan masih tertolong.” Kata dokter yang menagani Harjo. “Syukurlah
pak. Terima kasih.” Ujar Bu Nur. “Iya sama-sama saya pergi dulu ya bu.” Jawab
dokter sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
Bu Nur dan Beni pun masuk kedalam
ruang UGD untuk melihat keadaan Harjo. “Syukurlah nak kamu masih
tertolong.”Ujar Bu Nur. “Semoga kamu cepat sembuh kawan” Ujar Beni kepada
Harjo.
Beberapa jam kemudian Harjo membuka
mata dan tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya, “Dimana aku?” Tanya Harjo
dengan sangat cemas. “Aduh.. sakit, kenapa aku? Badanku terasa sakit.” Kata
Harjo kebingungan. “Tenang nak tenang badanmu masih terluka, kamu tadi
tertabrak olehku, dan kamu sekarang sedang di rumah sakit.” Jawab Bu Nur. “Maaf
siapa anda?” Tanya Harjo. “Nama Ibu, Nurhayati. Panggil saja Bu Nur dan itu
anak saya Beni. Sudah kamu tidur saja.” Jawab Bu Nur. Harjopun kembali tidur
karena tak mampu untuk bakit karena tak mampu menahan rasa sakit ditubuhnya.
Beni pun bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan mendekati Harjo yang tidur di atas rajang. “Kamu tidak
apa-apa kan kawan? Nama kamu siapa?” Tanya Beni kepada Harjo. “Tidak apa-apa,
namaku Harjo.” Jawab Harjo lirih. “Kamu tinggal dimana?” Tanya Bu Nur. “Saya
nggak punya rumah, saya hanya tinggal di gubug kardus bersama ibu saya yang
sakit.” Jawab Harjo iba. “Oh ya nanti kamu akan kami bawa pulang.” Ujar Bu Nur.
“Iya Bu.” Jawab Harjo. Lalu Harjo pun terlelap.
Jam dinding didalam ruangan itu
menunjukan bahwa telah jam 6 petang dan Harjopun bangun. “Bu, saya mau pulang,
ibu saya pasti cemas menunggui saya, ibu saya sakit.” Pinta Harjo kepada Bu Nur. “Baiklah tapi kamu sudah agak
baikan?”Tanya Bu Nur, “Sudah Bu”. Jawab Harjo.
Lalu Harjopun dituntun oleh Beni dan
Bu Nur menuju ke tempat di parkirkannya mobil hitam yang telah menabrak Harjo
tadi siang. Lalu Harjopun masuk kedalam mobil hitam itu begitupula Beni dan Bu
Nur. Lalu mobil hitam itupun mulai berjalan ditengah perjalanan, Bu Nur
bertanya kepada Harjo, “Kamu sudah makan?”. “Belum Bu. Ibu saya pun pasti juga
belum makan.” Jawab Harjo. “Baik nanti kita mampir makan dulu, lalu pulang.”
Ujar Bu Nur.
Merekapun mampir di rumah makan,
lalu mereka pun masuk dan makan. Setelah mereka selesai makan mereka keluar
dengan membawa bungkusan nasi dan menuju mobil hitam Bu Nur.
Mereka pun melajutkan perjalanan
untuk ke gubug Harjo, setengah jam kemudian mereka sampai di gang dekat gubug
kardus Harjo. Mereka pun turun dan berjalan menuju gubug yang lusuh itu.
“Bu.. Ibu.. Harjo pulang.” Kata
Harjo sambil menghampiri Ibunya. “Harjo... kemana saja kamu? Ibu cemas
menunggui kamu, tapi kamu tak kunjung pulang.” Tanya Bu Karni. “Tadi Harjo
ketabrak saat ngamen di perempatan.” Jawab Harjo. “Tapi kamu enggak
apa-apakan?” Tanya Bu Karni Cemas. “Enggak Bu.. tadi Harjo ditolong Bu Nur, Bu
Nur yang menabrakku.” Jawab Harjo. “Lalu di mana Bu Nur ?” Tanya Bu Karni
penasaran. “ Diluar Bu.. ayo bu kita keluar” Ajak Harjo. Mereka pun keluar
menghampiri Bu Nur dan Beni. “Ini dia Bu Nur bu..., Bu Nur ini Ibu saya.” Kata
Harjo menjelaskan. “Oh iya terima kasih ya Bu Nur sudah menolong anak saya.”
Ujar Bu Karni. “Iya Bu dan saya minta maaf karena sudah menabrak Harjo.” Ujar
Bu Nur. “Ini Bu ada sebungkus nasi untuk ibu tadi Bu Nur membelikan untuk Ibu.”
Kata Harjo.
Dan mereka pun berbincang-bincang
dibawah kemerlipnya bintang di langit
walaupun hanya beralaskan kardus-kardus yang di susun Harjo. Dan Bu Karni
pun bangga kepada anaknya karena telah berusaha dengan keras sebagai tulang
punggung keluarga. Sambil membuka bungkusan nasi tadi Bu Karni menagis bangga
kepada Harjo dan memeluk erat Harjo lalu berterima kasih kepada anaknya itu.
“Terima kasih nak.” Kata Bu Karni. “Iya bu.. kan Harjo pemimpin. Hahaha” ,
Jawab Harjo bangga. Dan mereka pun serentak tertawa bahagia.
TAMAT

0 komentar:
Posting Komentar